Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Hosting Unlimited Indonesia

Contoh Proposal Skripsi Pendidikan, Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

Contoh Proposal Skripsi Pendidikan, Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Contoh Proposal Skripsi Pendidikan, Penelitian Tindakan Kelas atau disingkat PTK ini merupakan proposal untuk melakukan penelitian secara langsung di dalam kelas. Contoh proposal ini boleh digunakan sebagai tambahan referensi bagi pembaca sekalian dalam menyusun tugas akhir kuliah. Contoh proposal pendidikan ini berjudul “Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Melalui  Metode Diskusi Pada Pembelajaran Sosiologi Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Sinjai Borong”

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya dan hubungan antara orang-orang dalam masyarakat tersebut, sosiologi memegang peranan penting dalam membantu memecahkan masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, konflik  antar ras, delikuensi anak-anak, dan lain-lain. Dalam hal ini sosiologi memang tidak terlalu menekankan pada pemecahan atau jalan keluar masalah-masalah tersebut, namun berupaya menemukan sebab-sebab terjadinya masalah itu. Usaha-usaha untuk mengatasi masalah sosial hanya mungkin berhasil apabila didasarkan pada kenyataan atau latar belakangnya. Disinilah peranan sosiologi. Namun, peranan itu tidak akan terwujud tanpa didasari teori dan pemahaman akan ilmu sosiologi itu sendiri.

Ada dua proses sosilogis yang memengaruhi perilaku kelompok secara mendalam dan menyeluruh. Pertama, integrasi sosial, yakni kecenderungan untuk saling menarik, tergantung dan menyesuaikan diri. Kedua, differensiasi sosial, yakni kecenderungan ke arah perkembangan sosial yang berlawanan seperti perbedaan ciri-ciri biologis antar manusia atau atas dasar agama, jenis kelamin dan profesi.

Differensiasi sosial dan integrasi sosial yang muncul bersamaan dengan terbentuknya stratifikasi sosial tumbuh sebagai konsekuensi dari perubahan sosial akibat pembagian kerja yang semakin rinci. Dengan kata lain, pertumbuhan dalam pembagian kerja bukan saja meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial secara vartikal, tetapi juga secara horizontal.

Seperti organisme biologis, masyarakat berkembang makin lama makin terspesialisasi dan kompleks atau heterogen. Emile Durkhein yang di kenal juga sebagai bapak metedologi sosiologi yakni bahwa heterogenitas dan kompleksitas pembagian kerja dalam masyarakat modern tidak akan menghancurkan solidaritas sosial. Sebaliknya, karena pembagian kerja semakin tinggi, individu dan kelompok dalam masyarakat merasa menjadi semakin lebih tergantung satu sama lain dari pada hanya mencukupi kebutuhannya sendiri.

Disamping itu, dapat juga dikatakan bahwa kehidupan sosial di masyarakat tidak selalu sama, tapi ada juga perbedaannya. Perbedaan itu dapat di lihat dari aspek tingkat usia, pekerjaan, jabatan, tingkat kekayaan, pendidikan, sosiologis, geografis dan sebagainya. Dalam stratifikasi sosial yang demikian itulah anak didik hidup dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sikap, perilaku dan pandangan hidup anak dipengaruhi oleh lingkungan yang membentuknya. Pengetahuan yang anak  miliki sesuai dengan apa yang dia dapatkan dari lingkungan kehidupannya sebelum masuk sekolah. Anak didik yang terbiasa hidup di kota tentu lebih maju dan lebih luas pengetahuannya daripada anak yang tinggal di desa. Karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih cepat menyebar dimasyarakat perkotaan daripada dimasyarakat pedesaan. Kehidupan di alam perkotaan dan di alam pedesaan yang diperbandingkan tersebut adalah dua sisi kehidupan yang berlainan yang dapat melahirkan karakteristik anak yang berbeda pula. Hal itu pula yang menyebabkan perbedaan latar belakang kehidupan sosial masyarakat. Akan tetapi, meskipun terjadi perbedaan latar belakang kehidupan tersebut dalam prestasi belajar harus ada keseimbangan, yang dengan demikian masalah rendahnya prestasi belajar siswa harus diatasi.

Dan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah rendahnya prestasi belajar siswa adalah melalui metode diskusi. Melalui metode diskusi ini diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa .

Dengan pemikiran tersebut guna meningkatkan mutu pendidikan terutama pada mata pelajaran Sosiologi, maka penulis mengadakan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan judul “Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Melalui  Metode Diskusi Pada Pembelajaran Sosiologi Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Sinjai Borong”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana metode diskusi diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar pada mata pelajaran Sosiologi di SMA Negeri 1 Sinjai Borong?
  2. Apakah metode diskusi akan mampu untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran Sosiologi di SMA Negeri 1 Sinjai Borong?

C. Tujuan Penelitian

Karena tujuan merupakan sasaran yang ingin dicapai. Maka adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:

  1. Mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa kelas XI IPS SMA Negeri 1 Sinjai Borong melalui metode diskusi dalam materi differensiasi dan stratifikasi sosial pada pembelajaran Sosiologi.
  2. Mengetahui hasil penerapan metode diskusi dalam kegiatan belajar mengajar pada mata pelajaran Sosiologi.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Mendorong  agar siswa lebih bisa meningkatkan prestasi belajar pada pembelajaran Sosiologi.
  2. Memberi masukan bagi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar terutama dalam penelitian metode mengajar yang tepat pada mata pelajaran Sosiologi.
  3. Dapat  meningkatkan kualitas proses belajar mengajar di sekolah dalam mencapai keberhasilan pendidikan.
  4. Sebagai bahan masukan terhadap peneliti-peneliti selanjutnya.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

Keberhasilan sebuah penelitian bergantung dari teori yang yang mendasarinya. Teori sesungguhnya merupakan landasan suatu penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini disebar diberbagai pustaka yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas.

Sehubungan dengan uraian di atas, aspek teoritis yang akan dibicarakan pada tinjauan pustaka ini terbagi atas empat spektrum, yaitu pengertian minat, pengertian belajar, metode diskusi dan materi ajar.

1. Pengertian Minat

Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada sesuatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu diluar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakain besar minat.

Suatu minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa lebih menyukai suatu hal daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Siswa yang memiliki minat terhadap subyek tertentu cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap subjek tersebut.

Minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan diperoleh kemudian. Minat terhadap sesuatu dipelajari dan mempengaruhi belajar selanjutnya serta mempengaruhi penerimaan minat-minat baru. Jadi minat terhadap sesuatu merupakan hasil belajar dan menyokong belajar selanjutnya. Walaupun minat terhadap sesuatu hal tidak merupakan hal yang hakiki untuk dapat mempelajari hal tersebut, asumsi umum menyatakan bahwa minat akan membantu seseorang mempelajarinya.

Mengembangkan minat terhadap sesuatu pada dasarnya adalah membantu siswa melihat bagaimana hubungan antara materi yang diharapkan untuk dipelajarinya dengan dirinya sendiri sebagai individu. Proses ini berarti menunjukkan pada siswa bagaimana pengetahuan atau kecakapan tertentu mempengaruhi dirinya, melayani tujuan-tujuannya, memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Bila siswa menyadari bahwa belajar merupakan suatu alat untuk mencapai beberapa tujuan yang dianggap penting, dan bila siswa melihat bahwa hasil dari pengalaman belajarnya akan membawa kemajuan pada dirinya, kemungkinan besar ia akan berminat (dan termotivasi) untuk mempelajarinya (Slameto, 2010: 180).

2. Pengertian Belajar

Masalah belajar adalah masalah yang selalu aktual dan dihadapi oleh setiap orang. Maka dari itu, banyak ahli-ahli membahas dan menghasilkan berbagai teori tentang belajar. Dalam hal ini tidak dipertentangkan kebenaran setiap teori yang dihasilkan, tetapi yang lebih penting ialah pemakaian teori-teori itu dalam praktik kehidupan yang paling cocok dengan situasi kebudayaan kita.

Pemakaian teori-teori belajar dengan situasi formal lebih dibatasi dalam lembaga pendidikan formal yaitu sekolah. Pandangan/teori tentang belajar menurut ahli tertentu akan menentukan bagaimana seharusnya “menciptakan” belajar itu sendiri dan usaha itu lazimnya dikenal dengan mengajar.

Untuk memperoleh pengertian yang objektif tentang belajar terutama belajar di sekolah, perlu dirumuskan secara jelas pengertian belajar. Pengertian belajar sudah banyak ditemukan oleh para ahli psikologi termasuk ahli psikologi pendidikan.

Dan berikut ini akan diuraikan beberapa teori tentang belajar:

1. Teori dari R. Gagne

Terhadap masalah belajar, Gagne memberikan dua defenisi yaitu:

  • Belajar ialah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan dan tingkahlaku.
  • Belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampila yang diperoleh dari intruksi.


Mulai masa bayi manusia mengadakan interaksi dengan lingkungan, tetapi baru dalam bentuk “sensory-motor coordination”. Kemudian ia mulai belajar bicara dan menggunakan bahasa. Kesanggupan untuk menggunakan bahasa ini penting artinya untuk belajar  (Slameto, 2010: 13).

2. Teori dari Hilgar

Belajar dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan. Hilgar mengungkapkan “ learning is the proses be wich an activity originates or changed through training prosedurs (wather in the laboratory or in the naural environment) as distinguished from changes by factors not atributable to training”. Bagi Hilgar, belajar itua adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan baik latihan di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah. Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku. Aktifitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari (Wina Sanjaya, 2006: 112).

3. Teori belajar conecsionisme

Teori belajar connecsionisme dikembangkan oleh Thorndike sekitar tahun 1913. Menurut Teori belajar ini, belajar pada hewan dan pada manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindera dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus dan respons (S-R). Oleh karena itulah teori ini juga dinamakan teori Stimulus-Respons (Wina Sanjaya, 2006: 115).

4. Teori belajar sosial (Sosial learning theory)

Teori belajar sosial ini dikembangkan oleh Bandura dan menyatakan bahwa mempelajari tingkah laku baru dapat dilakukan melalui modeling langsung maupun tidak langsung serta melalui regilasi diri sendiri (Soli Abimanyu, 2008: 13).

5. Teori belajar Classical Conditioning

Tokoh dari teori belajar classical conditioning adalah Pavlov yang menyatakan bahwa belajar itu memerlukan kondisi tertentu yaitu pancingan yang dilakukan berulang-ulang (Soli Abimanyu, 2008: 15).

3. Metode Diskusi

a. Pengertian

Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Dengan demikian, metode dalam rangkaian sistem pembelajaran memegang peran yang sangat penting.

Diskusi berasal dari bahasa Latin yaitu discutio atau discusium yang artinya bertukar pikiran. Akan tetapi belum tentu setiap kegiatan bertukar pikiran dapat dikatakan berdiskusi. Diskusi pada dasarnya merupakan suatu bentuk tukar pikiran yang teratur dan terarah, baik dalam kelompok kecil atau besar, dengan tujuan untuk mendapatkan suatu pengertian, kesepakatan, dan keputusan bersama mengenai suatu masalah. Dengan demikian bertukar pikiran baru dapat dikatakan berdiskusi apabila :

a. Ada masalah yang dibicarakan;
b. Ada seseorang yang bertindak sebagai pemimpin diskusi;
c. Ada peserta sebagai anggota diskusi;
d. Setiap anggota mengemukakan pendapatnya dengan teratur;
e. Kalau ada kesimpulan atau keputusan harus disetujui semua anggota.

Dengan memperhatikan syarat-syarat di atas, ternyata tidak semua bentuk bertukar pikiran dapat digolongkan ke dalam diskusi.

b. Keunggulan Diskusi

Untuk latihan permulaan yang bertujuan melatih kemampuan berbicara siswa, lebih efektif kalau diterapkan diskusi. Mengingat jumlah siswa dalam satu kelas cukup banyak, maka untuk melibatkan setiap individu, diskusi lebih tepat. Selain untuk mencapai efektivitas berbicara, diskusi juga dapat menghilangkan kejenuhan yang diakibatkan oleh suasana yang terus-menerus sama dalam mata pelajaran lain, sehingga bentuk ini dapat menumbuhkan motivasi, seperti sudah dijelaskan sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas, sebagai latihan permulaan dalam berbicara diskusi memiliki beberapa keunggulan, antara lain :

a. Diskusi lebih banyak melatih siswa berpikir secara logis karena dalam diskusi ada proses adu argumentasi;
b. Argumentasi yang dikemukakan mendapat penilaian dari anggota yang lain, sehingga hal ini dapat meningkatkan kemampuan berpikir dalam memecahkan suatu masalah;
c. Umpan balik dapat diterima secara langsung, sehingga hal ini dapat memperbaiki cara berbicara si pembicara.
d. Peserta yang pasif dapat dirangsang supaya aktif berbicara oleh moderator atau peserta yang lain;
e. Para peserta diskusi turut memberikan saham, turut mempertimbangkan gagasan yang berbeda-beda dan turut merumuskan persetujuan bersama tanpa emosi untuk menang sendiri.
c. Langkah-langkah Pelaksanaan Metode Diskusi

Secara garis besar, pelaksanaan diskusi itu dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Siwa dibagi dalam kelompok-kelompok dan setiap kelompok melakukan persiapan diskusi.
2. Kelompok tertentu berdiskusi dalam waktu tertentu (10 atau 15 menit). Siswa yang lain (pengamat) dibagi lagi dalam kelompok-kelompok pengamat. Jumlah kelompok pengamat ini disesuaikan dengan jumlah siswa yang berdiskusi.
3. Guru menentukan komponen-komponen yang diamati atau yang dikomentari.
4. Kelompok tertentu berdiskusi selama 10 atau 15 menit dan kelompok yang lain dan guru aktif mengamati komponen-komponen yang telah disepakati.
5. Selesai berdiskusi, para pengamat menyampaikan komentarnya. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan dua cara.
a.Tiap kelompok mengemukakan komentarnya tentang pembicara yang diamatinya melalui juru bicaranya.
b. Setiap anggota (peserta) diskusi bergabung ke dalam kelompok pengamatnya.
6. Peserta diskusi bergabung dengan pengamatnya. Para pengamat memberikan umpan balik tentang cara berbicara temannya. Dalam kelompok ini para siswa pun berlatih mengemukakan pendapat.
7. Kalau semua kelompok telah mendapat giliran berdiskusi denagn cara yang sama, maka dilanjutkan dengan kesempatan berdiskusi yang kedua.
8. Hasil pengamatan siswa yang dibuat dalam table penilaian sebaiknya dikumpulkan guru dan kemudian diperiksa (dinilai). Keuntungannya, guru dapat melihat kemampuan dan kesungguhan siswa.

4. Materi Ajar

Sehubungan dengan uraian diatas materi yang akan diajarkan adalah differensiasi dan stratifikasi sosial.

A. Differensiasi sosial

1) Pengertian differensiasi

Dalam kehidupan sehari-hari, Anda mengetahui adanya pembedaan, misalnya adanya laki-laki dan perempuan. Selain itu di dalam masyarakat juga ada pembedaan orang berdasarkan jenis pekerjaan, suku bangsa, atau ras tertentu. Misalnya suku Jawa, suku Batak, suka Banjar, ras Negro dan ras Melanisian. Dalam perbedaan tersebut, tidak memperlihatkan bahwa laki-laki lebih tinggi dari perempuan atau orang suku Jawa lebih tinggi dari suku Batak.

Differensiasi sosial adalah suatu proses perolehan hak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat yang berbeda satu sama lain atas dasar-dasar tertentu, seperti ras, etnis, agama, gender dan suku bangsa, yang tidak menunjukkan adanya tingkatan lebih tinggi atau lebih rendah. Perbedaan dalam differensiasi sosial merupakan perbedaan secara horizontal.

Differensiasi dapat berkembang menjadi stratifikasi apabila perbedaan hak dan kewajiban tersebut digunakan sebagai ukuran untuk memperoleh hak-hak yang istimewa dalam kekayaan, kekuasaan serta martabat (prestise). Akan tetapi, bukan berarti bahwa semua differensiasi akan mengarah kepada stratifikasi sosial karena di dalam masyarakat terdapat kekuatan-kekuatan yang mendorong penghapusan perbedaan-perbedaan atau diskriminasi diantara sesama manusia (Janu Murdiyatmoko, 2004: 21).

2) Wujud diifferensiasi sosial

Masyarakat manusia pada dasarnya biasa dibedakan atau terdifferensiasi menurut berbagai kriteria, seperti ciri fisiologis dan ciri kebudayaan. Berikut ini akan diuraikan beberapa wujud differensiasi sosial yang menonjol, yakni atas dasar:

1. Ras

Differensiasi ras berarti pengolompokan masyarakat berdasarkan cirri-ciri fisiknya, secara garis besar, manusia dikelompokkan kedalam tiga kelompok ras yaitu ras Mongoloid (berkulit hitam dan cokelat) yang mencakup penduduk benua Asia, ras Negroid (berkulit hitam) yang mencakup penduduk benua Afrika, dan ras Kaukasoid (berkulit putih) yang mencakup penduduk benua Eropa. Menurut Horton dan Hunt , ras adalah suatu kelompok manusia yang agak berbeda dengan kelompok-kelompok lainnya selain dalam segi ciri-ciri fisik bawaan, dalam banyak hal juga ditentukan oleh pengertian yang digunakan oleh masyarakat. Penduduk asli nenek moyang kita sangat heterogen dipandang dari sudut rasial kultural maupun dari sudut perekonomian, karena kepulauan Indonesia terletak antara benua Asia dan Australia, serta merupakan jembatan ke dua benua tersebut, percampuran antar ke dua suku bangsa yang masuk ke Indonesia menyebabkan pula timbulnya berbagai golongan sehingga susunan penduduk di kepulauan Indonesia menjadi heterogen (Dwi Narwoko, 2004: 195).

2. Etnik/ suku bangsa

Konsep yang tercakup dalam istilah suatu bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, dan kesadaran identitas tadi seringkali tetapi tidak selalu juga dikuatkan oleh kesatuan atau persamaan bahasa. Masyarakat di Indonesia terbagi atas kelompok-kelompok suku yang terpisah satu sama lain, masing-masing kelompok suku tumbuh dan berkembang sesuai dengan alam lingkungannya, komunikasi antar kelompok suku tersebut dapat dikatakan tidak ada. Keadaan seperti itu berlangsung selama ribuan tahun. Hal inilah yang menyebabkan kebhinnekaan dalam masyarakat Indonesia. Di Indonesia terdapat 250 buah jenis bahasa daerah, daerah hokum adat, aneka ragam kebiasaan dan adat istiadat. Namun, semua bahasa daerah dan dialek itu sesungguhnya berasal dari sumber yang sama yaitu bahasa dan budaya melayu Austronesia. Suku bangsa merupakan hasil proses dari system kekerabatan yang luas. Dalam ikatan suku bangsa, masyarakat percaya bahwa mereka memiliki persamaan darah dan keturunan dari nenek moyang mereka (Kun Maryati, 2002: 24).

3. Agama (religion defferensiation)

Seorang ahli sosiolog bernama Emil Durkhaim memberikan defenisi agama sebagai sistem terpadu mengenai kepercayaan dan praktek (pengamalan) yang berhubungan dengan hal-hal yang menyatukan semua pengikutnya kedalam suatu komunitas moral, yang disebut umat (Siti Waridah, 1999: 107).

Menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia beberapa agama yang secara resmi diakui dan dijamin keberadaannya oleh pemerintah adalah agama islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha dan Hindu. Perbedaan agama disatu sisi memang rawan karena bisa menjadi benih perpecahan. Tetapi, sepanjang masing-masing umat mau saling mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati hak masing-masing umat, niscaya kerukunan dan kestabilan akan tetap bisa terjaga dengan baik.

Menurut Haviland agama memiliki 4 fungsi sosial yaitu:

1. Agama merupakan saksi terhadap perilaku yang luas dengan memberi pengertian yang baik dan jahat.
2. Agama memberi contoh untuk perbuatan yang direstui.
3. Agama membebaskan manusia dari beban mengambil keputusan dan menempatkan tanggung jawabannya ditengah dosa-dosa.
4. Agama memegang peranan penting dalam memelihara solidaritas sosial (Nugroho Trisnu Brata, 2007: 20).

4. Jenis kelamin

Di dalam masyarakat primitive dan tradisional, perbedaan jenis kelamin seringkali mereflexikan perbedaan hak dan kewajiban dimana kududukan kaum wanita dalam banyak hal ditempatkan lebih rendah daripada kaum pria. Tetapi, seiring dengan meningkatnya gerakan emansipasi dan makin bertambahnya jumlah keterlibatan kaum wanita dalam sector publik sedikit-banyak telah menyebabkan makin menguatnya tuntunan agar antara wanita dan pria ditempatkan dalam kedudukan yang sejajar.

Menurut William Kornblum, perbedaan secara gender adalah cara berperilaku yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan yang sudah ditentukan oleh kebudayaan, yang kemudian menjadi bagian dari kepribadiannya. (Janu Murdiyatmoko, 2004: 25).

B. Stratifikasi sosial

1) Pengertian stratifikasi

Sistem lapisan dalam masyarakat tersebut dalam sosiologi dikenal dengan social stratification. Kata stratification berasal dari stratum (jamaknya strata yang berarti lapisan). Pelapisan sosial atau statifikasi sosial merupakan pembedaan warga masyarakat kedalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat. Pelapisan sosial dimasyarakat  terjadi karena adanya sesuatu yang dihargai lebih atas penilaian kelompok, seperti kekayaan, kekuasaan, keturunan (kehormatan), dan ilmu pengetahuan (pendidikan). Perwujudan pelapisan sosial di dalam masyarakat dikenal dengan istilah kelas-kelas sosial. Kelas-kelas sosial  terdiri atas kelas sosial tinggi (upper class), kelas sosial menengah (middle class), dan kelas sosial rendah (lower class). Beberapa pengertian stratifikasi sosial menurut para ahli antara lain:

a. Pitirin A. Sorokin menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban dan tanggungjawab nilai-nilai sosial pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat. Bentuk-bentuk lapisan masyrakat berbeda-beda dan banyak sekali, lapisan-lapisan tersebut tetap ada sekalipun dalam masyarakat kapitalistis, demokratis, komunistis, dan lain sebagainya. Lapisan masyarakat tadi mulai ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan masyarakat dalam suatu organisasi social. Misalnya pada masyarakat-masyarakat yang bertaraf kebudayaan masih bersahaja. Lapisan masyarakat mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antar pemimpin, golongan buangan/budak dan bukan buangan/budak, pembagian kerja, dan bahkan juga suatu pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin rumit dan semakin maju teknologi suatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan masyarakat (Soerjono Soekanto, 2009: 198).

b. Max Weber (dalam Soerjono Soekanto, 1994: 260) mendefenisikan stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu system social tertentu kedalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, privilege dan prestice. Cuber (dalam Soekanto, 1994) mendefenisikan stratifikasi social sebagai suatu pola yang ditempatkan diatas kategori dari hak-hak yang berbeda. Stratifikasi sosial dapat berfungsi antara lain sebagai berikut:

1. Penentu lambang-lambang (simbol status) atau kedudukan seperti tingkah laku, cara berpakaian dan bentuk rumah.
2. Penentu tingkat mudah dan sukarnya bertukar kedudukan.
3. Alat solidaritas diantara individu-individu atau kelompok yang menduduki system sosial yang sama dalam masyarakat. (Kun Maryati, 2002: 19).

c. Menurut Horton dan Horton, stratifikasi sosial berarti sistem perbedaan status yang berlaku dalam suatu masyarakat. (Janu Murdiyatmoko, 2004: 28).

d. Sosiolog bernama Pitirin A. Sorokin mengatakan bahwa system pelapisan masyarakat merupakan cara yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Dasar dan inti dalam lapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban diantara anggota masyarakat. System pelapisan masyarakat tersebut dikenal dengan istilah social atratifikation (sosial stratifikasi). Jadi, sosial stratifikasi adalah perbedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat (Dwi Narwoko, 2004: 153).
e. Soerjono Soekanto melihat bahwa struktur sosial sebagai sebuah hubugan timbale balik antara posisi-posisi sosial dan antara peranan-peranan social. Sementara itu Abdul Syani melihat struktur sosial sebagai sebuah tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat. Di dalam tatanan sosial itu ada hubungan timbal balik antara status dan peran (dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial tertentu). Status dan peran itu menunjuk pada suatu keteraturan perilaku sehingga dapat membentuk suatu masyarakat. Tatanan-tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat merupakan jaringan dari unsur-unsur sosial yang pokok seperti kelompok masyarakat, kebudayaan, lembaga sosial, strata sosial, kekuasaan,  dan wewenang (Kun Maryati, 2002: 3)

2) Terjadinya lapisan masyarakat (stratifikasi sosial)

Adanya sistem lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu. Akan tetapi, ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Alasan terbentuknya lapisan masyarakat yang terjadi dengan sendirinya adalah kepandaian, tingkat umur (yang senior), sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, dan mungkin juga harta dalam batas-batas tertentu. Alasan-alasan yang dipakai berlainan bagi tiap-tiap masyarakat. Pada masyarakat yang hidupnya dari berburu hewan alasan utamanya adalah kepandaian berburu. Sementara itu, pada masyarakat yang telah menetap dan bercocok tanam, kerabat pembuka tanah (yang dianggap asli) dianggap sebagai orang-orang yang menduduki lapisan tinggi. Hal ini dapat dilihat misalnya pada masyarakat Batak, dimana marga tanah yaitu marga yang pertama-tama membuka tanah dianggap mempunyai kedudukan tinggi. Demikian pula golongan pembuka tanah di kalangan orang Jawa di desa dianggap mempunyai kedudukan tinggi karena mereka dianggap sebagai pembuka tanah dan pendiri desa yang bersangkutan. Masyarakat lain menganggap bahwa kerabat kepala masyarakatlah yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, misalnya pada masyarakat Ngaju di Kalimantan Selatan.

3) Faktor penyebab stratifikasi

Beberapa kondisi umum yang mendorong terciptanya stratifikasi sosial dalam masyarakat menurut Huky (1982) adalah sebagai berikut:

a) Perbedaan ras dan budaya . Perbedaan ciri biologis, seperti warna kulit, latar belakang etnis dan budaya pada masyarakat tertentu dapat menyebabkan pembagian sosial tertentu. Misalnya, pelapisan atas dasar warna kulit pada masyarakat Afrika Selatan pada masa apartheid atau anggapan masyarakat Eropa sebelum perang dunia ke dua yang mengatakan kamu kulit putih adalah masyarakat paling atas.

b) Pemberian tugas yang terspesialisasi. Hal ini berkaitan dengan perbedaan fungsi dan kekuasaan dari status sosial yang muncul. Misalnya, ada maneger, tekhnisi, akuntan, dokter, atau pengacara. Perbedaan posisi atau status anggota masyarakat berdasarkan pembagian kerja ini terdapat dalam setiap masyarakat, baik pada masyarakat primitive maupun pada masyarakat yang sudah maju.

c) Kelangkaan. Stratifikasi lambat laun terjadi karena alokasi hak dan kekuasaan yang jarang atau langka, kelangkaan ini terasa bila masyarakat mulai membedakan posisi, alat-alat kekuasaan, fungsi-fungsi yang ada dalam waktu yang sama. Kondisi yang mengandung perbedaan hak dan kesempatan para anggota masyarakat dapat menciptakan stratifikasi sosial. Sebagai contoh, tidak semua orang dapat menjadi presiden, gubernur atau bupati. Oleh karena langka, kedudukan sebagai presiden, gubernur, bupati dihargai lebih tinggi dibanding kedudukan karyawan kantor misalnya.

4) Sifat sistem pelapisan masyarakat

Ada dua sifat dari system pelapisan dalam masyarakat, yaitu bersifat tetutup (closed social stratifikation), dan yang bersifat terbuka (opened social strtifikation).

Sistem pelapisan dalam masyarakat yang bersifat tetutup membatasi kemungkinan berpindahnya seseorang dari lapisan satu kelapisan yang lain, baik kelapisan atas maupun kelapisan yang lebih rendah. Dalam sistem tertutup semacam ini satu-satunya cara untuk menjadi anggota suatu lapisan tertentu dalam masyarakat adalah karena kelahiran. Sistem tertutup dapat dilihat dengan jelas dalam masyarakat India yang berkasta, dalam batas-batas tertentu pada masyarakat Bali.

Dalam sistem terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kemampuannya sendiri. Apabila mampu dan beruntung seseorang dapat untuk naik kelapisan yang lebih atas, atau bagi mereka yang tidak beruntung dapat turun kelapisan yang lebih rendah. Misalnya, seorang karyawan dari manapun asalnya, bagaimanapun latar belakang keluarganya, dan apapun jenis kelaminnya sepanjang dia memang berdedikasi, memiliki kemampuan yang memadai, dan mampu bersaing dengan sesama karyawan lain secara profesional, maka perjalanan kariernya kemungkinan besar akan lancer (Dwi Narwoko, 2004: 162).

C. Perbedaan differensiasi dan stratifikasi

Di masyarakat manapun, stuktur sosial yang ada umumnya ditandai dua cirinya yang khas yaitu:

a) Secara vartikal, struktur sosial masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antar sosial dan polarisasi sosial yang cukup tajam.

b) Secara horizontal, masyarakat ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, profesi, ras, adat serta perbedaan kedaerahan (Nasikun, 1984: 30).

Perbedaan masyarakat secara vartikal sebagaimana dikemukakan Nasikun disebut stratifikasi sosial, sedangkan perbedaan masyarakat secara horizontal yang disebut differensiasi sosial. Stratifikasi sosial muncul karena ketimpangan distribusi dan kelangkaan barang pendidikan, keterampilan, dan semacamnya. Sementara itu, differensiasi sosial muncul karena pembagian kerja, perbedaan agama, rasatau pengelompokan individu atas dasr cirri fisik, etnis atau pengelompokan individu atas dasar ciri persamaan kebudayaan, seperti bahasa, adat, sejarah, sikap, wilayah) atau perbedaan jenis kelamin.

Dalam stratifikasi sosial, hubungan antar kelas dalam banyak hal cenderung tidak seimbang dimana ada pihak tertentu yang lebih dominan dan berkuasa daripada pihak yang lain. Sementara itu, di dalam differensiasi sosial yang dipersoalkan bukanlah apakah antara berbagai kelompok (bukan antara berbagai kelas) itu seimbang atau tidak melainkan lebih ditekankan bahwa masyarakat pada dasrnya bersifat pluralistik dan didalam terdapat sejumlah perbedaan.

Secara normative, di dalam differensiasi, memang hak dan kewajiban antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain relative sama dimata hukum. Tetapi, bagaimanapun harus diakui bahwa di dalam kenyataan yang terjadi differensiasi sosial umumnya selalu tumpang tindih dengan stratifikasi sosial.

Hubungan antar kelompok dalam differensiasi sosial entah itu atas dasar perbedaan profesi, ras, etnis, agama, atau jenis kelamin selalu tidak pernah netral dari dimensi-dimensi stratifikasi sosial. Hak dan kewajiban seorang buruh dan majikan, misalnya, dimata hokum secara normative  sama. Tetapi, antara keduanya dari segi kekuasaan dan ekonomi jauh berbeda, maka pola hubungannya pun tidak menjadi seimbang. Seorang majikan, jelas posisinya akan lebih dominan dan berhak memerintah para buruhnya. Sebaliknya, para buruh akan bersikap hormat kepada majikan yang membayarnya. Memperoleh upah yang layak, misalnya, secara hukum adalah hak kaum buruh. Namun, karena para buruh itu menyadari bahwa mencari pekerjaan itu susah dan tidak memiliki alternative untuk bekerja disektor lain, maka sering kita temui banyak kaum buruh relative bersikap apsrah begitu saja kendati diberi upah di bawah KUM (Ketentuan Upah Minimum).

B. Kerangka Pikir

Berikut ini akan diuraikan kerangka pikir yang yang dijadikan landasan peneliti. Landasan pikir yang dimaksud akan mengarahkan penulis untuk menemukan data dan informasi dalam penelitian ini guna memecahkan masalah yang telah dipaparkan.

Dalam proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai peranan dan kedudukan kunci dalam keseluruhan proses pendidikan terutama dalam pendidikan formal. Sehubungan dengan ini G.F. Moddy mengemukakan pendapat berdasarkan pengalaman dan penelaannya bahwa sesungguhnya keberhasilan dari suatu masyarakat teratur sangat tergantung pada guru (Slameto, 2010: 97).

Dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar dapat dilakukan oleh Guru yang memiliki kompetensi mengajar, sekurang-kurangnya memiliki kompetensi dasar (Basic Competence) yang meliputi kompetensi di penguasaan bahan materi yang akan diajarkan, mengetahui, memahami dan mengaplikasikan suatu metode yang tepat dan sesuai. Salah satu metode yang dianggap dapat meningkatkan prestasi belajar siswa yaitu metode demonstrasi. Untuk melihat prestasi belajar siswa ditunjang oleh 3 (Tiga) aspek yaitu aspek kognitif (pengetahuan), aspek psikomotorik (praktek) dan aspek afektif (sikap).
Dalam penelitian ini yang akan diselidiki adalah perkembangan minat belajar siswa dalam materi differensiasi dan stratifikasi sosial. Hal ini yang akan dilihat adalah apakah materi differensiasi dan stratifikasi sosial sudah dapat dipahami  atau belum (tidak sesuai dengan penjelasan).

Untuk lebih jelasnya kerangka pikir dapat dilihat pada bagan berikut:

Contoh Proposal Skripsi Pendidikan, Penelitian Tindakan Kelas (PTK)


C. Hipotesis

Hipotesis adalah pernyataan yang diterima sementara dan masih perlu diuji. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah “Ada Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Melalui  Diskusi Pada Pembelajaran Sosiologi Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Sinjai Borong”.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Menurut  Kemmis dan MC Taggert,  penelitian tindakan kelas (PTK) adalah study yang dilakukan untuk memperbaiki diri sendiri, pengalaman kerja sendiri dan dilaksanakan secara sistematis, terencana dan dengan sikap mawas diri (Masnur Muslich, 2009: 8). Pelaksanaannya dibagi atas dua siklus dan setiap siklus terdiri atas empat tahapan. Tahapan dalam setiap siklus tersebut meliputi:

1. Tahapan persiapan.
2. Pelaksanaan tindakan.
3. Observasi dan evaluasi.
4. Tahap refleksi.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan pada kelas XI IPS SMA Negeri 1 Sinjai Borong Kabupaten Sinjai. Dan adapun subjek penelitian tindakan ini adalah 30 orang yang terdiri dari 12 orang laki-laki dan 18 orang perempuan.

C. Faktor Yang Diselidiki

Faktor-faktor yang diselidiki adalah:

1. Faktor proses, yaitu keterlaksanaan pembelajaran sesuai dengan strategi pembelajaran yang digunakan yaitu pemberian metode diskusi.
2. Faktor hasil, yaitu melihat hasil belajar sosiologi melalui metode diskusi.

D. Prosedur Penelitian

Penelitian tindakan kelas (Classroom actions Research) ini dibagi kedalam dua siklus yaitu:

1. Siklus I selama 4 pekan (4 kali pertemuan).
2. Siklus II selama 4 pekan (4 kali pertemuan).  

Tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai. Untuk dapat melihat hasil belajar sosiologi siswa maka diberikan tesk pada akhir siklus. Siklus II merupakan kelanjutan dan perbaikan dari siklus I. Adapun prosedur penelitian adalah:

a. Siklus I

Silkus I berlangsung selama 4 kali pertemuan. Sesuai dengan tahapan I siklus, maka prosedur kegiatan kegiatan siklus pertama adalah sebagai berikut:

1. Tahap perencanaan

a. Menelaah kurikulum SMA kelas XI untuk menyesuaikan sedemikian rupa sehingga dapat diajarkan selama 4 kali pertemuan.
b. Membuat rancangan pelaksanna pembelajaran (RPP) sesuai kurikulum untuk setiap pertemuan.
c. Membuat lembar observasi untuk mengamati proses pembelajaran di kelas.
d. Merancang dan membuat tes hasil belajar yang akan diberikan pada akhir pelaksanaan siklus I sebagai bahan evaluasi berdasarkan materi yang diajarkan.

2. Tahap pelaksanaan tindakan

Secara umum, tindakan yang dilaksanakan secara operasional dijabarkan sebagai berikut:

a) Mengidentifikasi kesiapan siswa untuk mengikuti mata pelajaran dan memberikan materi prasyarat yang berhubungan dengan materi ajar yang akan disajikan.
b) Membahas materi pelajaran sesuai dengan rencana yang telah dirancang.
c) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan materi yang belum dimengerti.
d) Pada setiap akhir pertemuan siswa diberikan tugas.

3. Tahap Observasi dan evaluasi

Pada prinsipnya tahap observasi dilakukan selama penelitian berlangsung. Melakukan pengamatan terhadap proses pelaksanaan tindakan dengan menggunakan lembar observasi yang telah dibuat yaitu dengan cara mengidentifikasi dan mencatat tingkat perkembangan siswa tentang konsep-konsep sosiologi selama proses belajar-mengajar untuk melihat sejauh mana perubahan yang terjadi, serta memberikan tes disetiap akhir siklus untuk melihat peningkatan hasil belajar siswa setelah diterapkan pembelajaran dengan menggunakan metode demonstrasi.

4. Tahap Refleksi

Pada tahap ini hasil yang diperoleh pada setiap observasi dikumpulkan dan dianalisis. Dari hasil tersebut dilakukan refleksi terhadap tindakan yang dilakukan. Refleksi yang dimaksud adalah pengkajian terhadap keberhasilan atau kegagalan. Pencapaian tujuan sementara untuk merumuskan rencana perbaikan siklus berikutnya.

b. Siklus II

Siklus II berlangsung selama 4 kali pertemuan. Kegiatan yang dilakukan pada siklus kedua ini adalah mengulang kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pada siklus pertama.

1. Tahap  perencanaan

Pada tahap ini dirumuskan perencanaan siklus kedua yang sama dengan perencanaan siklus pertama.

2. Tahap pelaksanaan tindakan

Melanjutkan  langkah-langkah  pada  siklus  pertama  yang sesuai  sejumlah perbaikan berdasarkan hasil refleksi siklus pertama. Adapun perbaikannya adalah jika ada siklus pertama hanya guru yang melakukan pendemonstrasian maka pada siklus ini siswa sudah mulai dilibatkan.

3. Tahap observasi dan evaluasi

Secara umum tahap observasi yang dilaksanakan pada siklus kedua sama dengan   observasi   yang   dilaksanakan   sebelumnya.   Perbedaannya   hanya   pada komunikasi dengan siswa lebih ditingkatkan dan siswa lebih banyak dibimbing langsung oleh guru dalam menyelesaikan soal-soal.

4. Tahap refleksi

Data hasil observasi dalam siklus ini dikaji dan dianalisis untuk menentukan keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan akhir dari penelitian tindakan ini.

E. Teknik Pengumpulan Data 

Pengumpulan data di dasarkan pada suatu metode atau prosedur agar data yang diinginkan dapat terkumpul secara lengkap. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Observasi (pengamatan langsung)

Metode pengamatan adalah suatu cara pengumpulan data melalui pengamatan inderawi, dengan melakukan pencatatan-pencatatan terhadap gejalah-gejalah yang terjadi pada objek penelitian secara langsung di tempat penelitian. Dengan kata lain pengamatan ini dilakukan pada saat siswa sedang melaksanakan kegiatan demonstrasi.

2. Wawancara tidak berencana

Wawancara tidak berencana ini adalah jenis wawancara yang tidak menggunakan daftar pertanyaan dengan susunan kata dan tata urut yang harus dipatuhi pewawancara. Tetapi, bukan berarti wawancara ini dilakukan tanpa cara dan aturan bertanya. Dan wawancara ini dilakukan pada saat siswa telah melaksanakan kegiatan demonstrasi.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data secara kualitatif dan kuantitatif. Data yang dianalisis secara kualitatif berupa data  tentang  hasil   penelitian  yang berupa  tanggapan-tanggapan  siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung, sedangkan data yang dianalisis secara kuantitatif berupa data tentang  hasil  tes  belajar sosiologi yang dilaksanakan setiap akhir siklus dengan menggunakan statistik deskriptif. Analisis statistik deskripti digunakan untuk mengetahui gambaran tentang kemampuan siswa dalam materi differensiasi sosial dan stratifikasi sosial.

Untuk mengetahui nilai (N) yang diproleh siswa dipergunakan rumusam berikut ini:

        Jumlah jawaban siswa yang benar
N = Jumlah keseluruhan soal                X 10

Dan untuk keperluan analisis deskriptif kuantitatif adalah dengan menggunakan suatu kriteria standar yang berlaku di SMA Negeri 1 Sinjai Borong Kabupaten Sinjai (Depdikbud 1994) yaitu :

- Tingkat penguasaan  85% - 100% dikategorikan sangat tinggi
- Tingkat penguasaan  65% - 84% dikategorikan tinggi
- Tingkat penguasaan  55% - 64% dikategorikan sedang
- Tingkat penguasaan  35% - 54% dikategorikan rendah
- Tingkat penguasaan  0 % - 34% dikategorikan sangat rendah

G. Indikator Keberhasilan

Yang menjadi indikator keberhasilan penelitian tindakan kelas ini adalah apabila terjadi peningkatan skor rata-rata hasil belajar Sosiologi Siswa dari Siklus I ke siklus II maka Prestasi Belajar siswa meningkat.

Demikianlah postingan kali ini tentang, Contoh Proposal Skripsi Pendidikan, Penelitian Tindakan Kelas (PTK), semoga bermanfaat.

Posting Komentar untuk "Contoh Proposal Skripsi Pendidikan, Penelitian Tindakan Kelas (PTK)"

PHP Dev Cloud Hosting
Hosting Unlimited Indonesia